Oleh: Alwi Musa Muzaiyin
A. Biografi Yusuf al-Qordawy
Yusuf
Qardhawi, adalah seorang pemikir Islam modern yang sangat yakin akan kebenaran
cara pemikiran Islam yang moderat (al-washatiyah al-Islamiyah). Sebagai ulama
yang memiliki apresiasi tinggi terhadap Alquran dan Sunnah Nabi, Qardhawi
sangat fleksibel dalam memandang ajaran Islam. Namun pada saat yang sama, ia
juga sangat kuat dalam mempertahankan pendapat-pendapatnya yang digali dari
Alquran dan Hadits. Yusuf Qardhawi lahir di Shafth Turaab, sebuah desa kecil di
Mesir, pada 9 September 1926. Ia tidak sempat mengenal ayah kandungnya dengan
baik, karena saat usianya baru mencapai dua tahun, sang ayah meninggal dunia.
Sepeninggal
ayahnya, ia dibesarkan oleh ibu kandungnya. Akan tetapi pada saat ia duduk di
tahun keempat ibtida'iyah, ibunya pun dipanggil Yang Mahakuasa. Beruntung, ibu
yang dicintainya masih sempat menyaksikan putra tunggalnya ini hafal seluruh
Alquran dengan bacaan yang sangat fasih, karena pada usia sembilan tahun
sepuluh bulan, ia telah hafal Alquran. Kemampuannya dalam menghafal Alquran
itulah yang menyebabkan kaum kerabatnya kerap memanggil Qardhawi
"syaikh". Pendidikan formalnya dimulai pada salah satu lembaga
pendidikan Al-Azhar yang dekat dengan kampungnya. Di lembaga pendidikan inilah
Qardhawi kecil mulai bergelut dengan kedalaman khazanah Islam. Setelah
menyelesaikan pendidikannya di Ma'had Thantha dan Ma'had Tsanawi, Qardhawi
melanjutkan ke Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, hingga lulus tahun
1952. Namun karena dia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang
berkuasa saat itu, gelar doktornya baru dia peroleh pada tahun 1972, dengan
desertasi Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan. Desertasinya itu
kemudian disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat komprehensif
dalam membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.
Kedalaman
dan ketajamannya dalam menangkap ajaran Islam ini, sangat membantunya untuk
selalu bersikap arif dan bijak. Dalam buku-buku yang ditulisnya, dia selalu
mendengungkan kelebihan Islam dalam segala lini. Qardhawi dengan gencar
mengedepankan Islam yang toleran serta kelebihan-kelebihannya yang tidak
dimiliki oleh umat di luar Islam. Qardhawi juga amat selektif terhadap berbagai
propaganda pemikiran Barat maupun Timur, termasuk dari kalangan umat Islam
sendiri. Dia bukanlah pengikut buta dari mazhab atau gerakan Islam modern
tertentu. Bahkan dia tidak segan-segan berbeda pendapat dengan senior-seniornya
dalam pergerakan Islam. Singkatnya, Qardhawi memiliki pendirian yang sangat
kokoh terhadap apa yang dia yakini sebagai kebenaran dan prinsip Islam, walaupun
seringkali mendapat tekanan dari berbagai pihak.
Di
mata Qardhawi, umat Islam sudah lama mengidap krisis identitas akibat perang
pemikiran (ghazwul fikr) Barat yang tidak menginginkan Islam bangkit
kembali. Akibatnya, umat Islam justru lebih percaya kepada peradaban Barat
ketimbang pada agamanya sendiri. Oleh karena itu, Qardhawi tak henti-hentinya
berusaha mengembalikan identitas umat dengan melakukan penyebaran pemikiran
Islam yang benar melalui berbagai tulisan serta seminar-seminar di tingkat
internasional. Pandangan bahwa Islam sangat menghargai makna pluralisme agama
sebagai sebuah realitas sosial yang tidak mungkin dihilangkan, membuat Qardhawi
sangat anti-terhadap gerakan-gerakan militan apalagi anarkis. Sikap seperti itu,
menurutnya, hanya memperburuk citra Islam yang cinta damai dan sangat manusiawi
dalam memperlakukan orang lain. Namun di saat yang sama, Qardhawi juga
mengingatkan bahwa tindakan militan umat Islam bukan muncul dari keinginan
mereka. Tindakan tersebut muncul akibat kemerdekaan mereka telah dirampas oleh
para penguasa yang tidak memberikan ruang yang leluasa untuk menjalankan
keyakinan mereka. Qardhawi juga dikenal sebagai seorang ulama yang menolak
pembagian ilmu secara dikotomis. Menurutnya, semua ilmu bisa Islami dan tidak
Islami, tergantung kepada orang yang memandang dan mempergunakannya. Qardhawi
memandang bahwa pemisahan ilmu secara dikotomis telah menghambat kemajuan umat
Islam. Padahal, peradaban bisa melesat maju jika peradaban tersebut bisa menyerap
sisi-sisi positif dari peradaban yang lebih maju dengan tanpa meninggalkan
akar-akar pembangunan peradaban yang dianjurkan Islam.[1]
B. Pemikiran Ekonomi Islam Yusuf al-Qordawy
Di dalam
pemikiran ekonomi Islam Yusuf al-Qordawy bahwa kemiskinan dapat terentaskan
kalau setiap individu mencapai taraf hidup yang layak di dalam masyarakat. Dan
untuk mencapai taraf hidup yang diidealkan itu Islam
memberikan kontribusi berbagai cara dengan jalan sebagai berikut.
1. Bekerja
Setiap
orang yang hidup dalam masyarakat Islam, diharuskan bekerja dan diperhatikan
berkelana dipermukaan bumi ini. Serta diperintahkan makan dari rizki Allah.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Mulk: 15: Artinya : “Dialah yang menjadikan
bumi itu rumah bagimu, maka berjalanlah disegala penjurunya dan makanlah
sebagian rizki-Nya”. Bekerja merupakan suatu yang utama untuk memerangi
kemiskinan, modal pokok untuk menvapai kekayaan, dan faktor dominan dalam
menciptakan kemakmuran dunia. Dalam tugas ini, Allah telah memilih manusia
unbtuk mengelola bumi, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Allah, bahwa hal
itu pernah diajarkan oleh Nabi Saleh a.s kepada kaumnya, QS. Hud: 61: Artinya :
“Wahai Kaumku ! sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu tuhan, melainkan
dia. Dia telah menciptakan kamu dari tanah (liat) dan menjadikan kamu sebagai
pemakmurmu”.
2. Mencukupi
Keluarga yang Lemah
Sudah
menjadi dasar pokok dalam syari’at Islam, bahwa setiap individu harus harus
memerangi kemiskinan dengan mempergunakan senjatanya, yaitu dengan bekerja dan
berusaha. Di balik itu, apa
dosa orang-orang lemah yang tidak mampu bekerja? Apa dosa para janda yang
ditinggal para suaminya dalam keadaan tidak berharta? Apa dosa anak-anak yang
masih kecil dan orang tuanya yang sudah lanjut usia? Apa dosa orang cacat
selamanya, sakit dan lumpuh? sehingga mereka semua kehilangan pekerjaannya?
apakah mereka dibiarkan begitu saja karena bencana tengah melanda dan menimpa
mereka, sehingga mereka terlantar dalam kehidupan yang tidak menentu? Melihat
realitas di atas Islam tidak menutup mata, namun Islam justru mengentaskan
mereka dari lembah kemiskinan dan kemelaratan, serta menghindari mereka dari
perbuatan rendah dan hina, seperti mengemis dan meminta-minta.
Pertama-tama
konsep yang yang dikemukakan untuk menanggulangi hal itu adalah adanya jaminan
antara anggota suatu rumpun keluarga, Islam telah menjadikan antara anggota
keluarga saling menjamin dan mencukupi. Sebagian meringankan penderitaan
anggota yang lain. Yang kuat membantu yang lemah, yang kaya menvukupi yang
miskin, yang mampu memperkuat yang tidak mampu, karena itu hubungan yang
mengikat mereka.
Islam
mewajibkan setiap orang sehat dan kuat, untuk bekerja dan berusaha mencapai
rizki Allah, guna menccukupi dirinya dan keluarganya, sehingga sanggup
mendermakan hartanya di jalan Allah. Bagi orang yang tidak mampu berusaha dan
tidak sanggup bekerja, serta tidak mempunyai harta warisan atau simpanan guna
mencukupi kebutuhan hidupnya, ia berhak mendapatkan jaminan dari keluarganya
yang mampu. Keluarga yang mampu tadi berkewajiban memberikan bantuan serta
bertanggung jawab terhadap nasib keluarga yang miskin. Namun demikian, tidak
semua fakir miskin mempunyai keluarga yang mampu dan sanggup memberi bantuan.
Apakah kiranya yang akan dibuat oleh fakir miskin yang malang itu? Apakah
mereka dibiarkan begitu saja, hidup dibawah tekanan kemelaratan dan ancaman kelaparan,
sedangkan masyarakat disekitarnya yang didalamnya terdapat orang-orang kaya,
hanya menyaksikan penderitaan mereka?.
Islam
tidak akan membiarkan begitu saja nasib fakir miskin yang terlantar.
Sesungguhnya allah SWT telah menetapkan bagi mereka suatu hak tertentu di dalam
harta orang-orang kaya, dan suatu bagian yang tetap dan pasti, yaitu zakat.
Sasaran utama bagi zakat itu adalah untuk mencukupi kebutuhan orang-orang
miskin. Di samping zakat juga masih ada hak-hak material lain, yang wajib di
penuhi oleh orang Islam, karena berbagai sebab dan hubungan. Kesemuanya itu
merupakan sumberdana bantuan bagi orang-orang fakir dan miskin merupakan
kekuatan untuk mengusir kemiskinan dari tubuh masyarakat Islam. Hak- hak
tersebut di antaranya adalah:
a.
Hak bertetangga
b.
Korban Hari Raya Haji
c.
Melanggar Sumpah
d.
Kafarah sumpah
e.
Kafarah Dihar
f.
Kafarah
g.
Fidyah bagi yang lanjut usia
h.
Al- Hadyu (pelanggaran dalam ibadah haji)
i.
Hak tanaman pada saat mengentan
j.
Hak mencukupi fakir miskin.
4. Al-Khizanah
al-Islamiyah (sumber Material dalam Islam atau Baitul Mal)
Apabila dalam distribisi kekayaan yang diambil
dari zakat untuk para fakir miskin tidak mencukupi, maka dapat diambil dari
persediaan dari sumber material yang lain. Sumber material yang dimaksud adalah
Khizanah al- Islamiyah. Sumber-sumber material dalam Islam disini meliputi hak
milik Negara dan kekayaan-kekayaan umum, yang dikelola dan diurus oleh Pemerintah,
baik yang digarap langsung maupun yang dikerjakan bersama, seperti harta wakaf,
sumber kekayaan alam, dan barang tambang yang ditetapkan dalam Islam.
Sebagian
besar ahli fiqih Islam sangat berhati-hati dalam menyelamatkan hak fakir miskin
dalam hubungannya dengan harta zakat. Karena itu, mereka tidak membolehkan
harta zakat itu seluruhnya atau sebagian dipergunakan untuk kepentingan umum.
Misalnya, untuk pembiayaan angkatan perang atau keperluan-keperluan lainnya
yang serupa, meski pada saat itu kas anggaran belanja induk mengalami minus.
Sedangkan kas anggaran belanja zakat dalam keadaan surplus. Kecuali dengan
jalan pinjaman atas nama kas anggaran belanja induk, yang nantinya setelah kas
anggaran belanja iru surplus kembali, pinjaman itu harus dikembalikan kepada kas
anggaran belanja zakat. Kekayaan itu harus dipegang dan dikuasai oleh Pemerintah
agar seluruh rakyat bisa menikmati manfaatnya. Segala sesuatu yang merupakan
pemasukan Khizanah al-Islamiyah merupakan sumber bantuan bagi orang-orang
miskin, manakala pemasukan dan zakat tidak mencukupi para fakir miskin.
Khizanah
al-Islamiyah ini sangat penting keberadaannya karena, ketika di antara kaum
muslimin orang-orang fakir dan miskin membutuhkan bantuan, sedangkan kas
sedekah (zakat) mengalami kekosongan. Dalam hal ini seorang imam (kepala
negara) boleh mengambil uang khas harta pajak untuk memenuhi kebutuhan mereka
tersebut. Pinjaman itu tidak perlu dinyatakan sebagai pinjaman yang harus
dibayar oleh khas sedekah. Dari baitul mal ini sesungguhnya merupakan
persediaan paling terakhir setiap orang fakir dan orang-orang yang
berkekurangan. Karena itu baitul mal milik semua orang, bukan milik seorang
amir (pimpinan/kepala negara) atau kelompok orang-orang tertentu.
5. Shodaqoh
dalam Islam
Sodaqoh
juga berusaha untuk membentuk pribadi yang luhur, dermawan, dan murah hati.
Pribadi yang luhur adalah insan yang suka memberikan lebih dari apa yang
diminta, suka mendermakan lebih dari apa yang diwajibkan. Ia suka memberikan
sesuatu, kendati tidak diminta dan tidak dituntu terlebih dahulu. Ia suka
berderma (memberi infaq) dikala siang maupun malam.
Sebab
itulah, telah turun sejumlah Al-qur’an yang agung dan Hadits Rasulullah yang
mulia sebagai pembawa berita gembira dan penyampaian ancaman siksa, pembangkit
dan penggerak gairah kerja, pendorong kearah ikhlas, berjuang, dan berderma
serta pencegah sikap-sikap kikir dan bakhil. Sebagaimana Allah berfirman dalam
QS. Al-baqarah (2): 245: Artinya: “Siapa saja yang mau meminjamkan kepada Allah
dengan satu pinjaman yang baik, ia akan mengadakan (pembayaran) itu dengan
berlipat ganda. Sebab, Allah-lah yang menyempitkan dan meluakan rizki, dan kepadanyalah
kalian dikendalikan”.
Allah
berfirman dalam QS. Al-Insan: 8- 10, yang berbunyi; Artinya : “Dan mereka
memberi makanan yang diseganinya, kepada orang-orang miskin, dan anak-anak
yatim, dan orang tawanan. Sesungguhnya kami tidak memberi makanan kepada kamu
melainkan karena Allah, kami tidak mengharap dari kamu balasan dan ucapan
terimakasih. Sesungguhnya kami takit akan adzab Tuhan kami pada suatu hari yang
(di hari itu) orang-orang yang bermuka masam penuh kesulitan”[2]
[1] "Yusuf Qardhawi, Pemikir Islam Modern”, on line, http://pkesinteraktif.com/tokoh/sosok/2237-yusuf-qardhawi-pemikir-islam-modern.html,
06 January 2011, diakses tanggal
6 November 2011.
[2]"Pemikiran
Yusuf Al-Qardawy Mengenai Ekonomi Islam dan Kemiskinan”, on
line, http://zonaekis.com/pemikiran-yusuf-al-qardawy-mengenai-ekonomi-islam-dan-kemiskinan/,
25 Agustus 2010, diakses tanggal
6 November 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar