Selamat Datang Para Pekerja Ekonomi Islam

Blog ini adalah tentang ekonomi modern yaitu ekonomi islam yang mana merupakan sistem ekonomi peka zaman dan rentang waktu kapanpun dan di manapun. Di samping hal tersebut ekonomi islam juga mampu menjawab atas kegagalan ekonomi kapitalis.

Kamis, 17 Februari 2011

ENTREPRENEURSHIP VALUES AND BUSINESS STRATEGY IN THE PERSPECTIVE OF SURAH QURAISY (SEBUAH PENDEKATAN BARU TAFSIR EKONOMI AYAT AL-QUR’AN)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tepat tanggal 1 Januari 2010, Indonesia telah resmi menerapkan perdagangan bebas dengan negara-negara ASEAN dan China atau yang dikenal dengan ASEAN-China Free Trade Area (AC-FTA). Bagi sebagian kalangan terutama pengusaha lokal, penerapan AC-FTA tersebut dianggap sebagai kado awal tahun yang sangat pahit pada tahun Macan ini. Hal ini dikarenakan mereka dihadapkan dengan raksasa-raksasa ekonomi yang selama ini produknya membanjiri pasar lokal. Di mana selama ini neraca perdagangan Indonesia terhadap negara-negara ASEAN dan China hampir semuanya mengalami defisit, sebagaimana yang dapat kita lihat dalam tabel berikut:

Tabel 1: Volume Perdagangan Indonesia-China-Negara ASEAN dari tahun 2007 sampai November 2009 (Ribu dolar US)

Indonesia-China

Indonesia-Thailand

Tahun

Ekspor

Impor

Tahun

Ekspor

Impor

2007

9.675.512

8.557.877

2007

3.045.276

4.287.065

2008

11.636.502

15.247.168

2008

3.661.251

6.334.263

2009

10.106.394

12.461.340

2009

2.855.367

4.140.706

Indonesia-Brunai Darussalam

Indonesia-Filipina

Tahun

Ekspor

Impor

Tahun

Ekspor

Impor

2007

43.367

1.864.720

2007

1.853.683

379.850

2008

59.671

2.416.617

2008

2.053.611

755.539

2009

67.769

590.734

2009

2.160.449

474.809

Indonesia-Singapura

Indonesia-Malaysia

Tahun

Ekspor

Impor

Tahun

Ekspor

Impor

2007

10.501.617

9.839.794

2007

5.095.063

6.411.927

2008

12.862.045

21.789.486

2008

6.432.551

8.922.289

2009

9.023.955

114.033.763

2009

5.903.823

5.081.048

Sumber: Departemen Perdagangan

Kondisi neraca perdagangan di atas, diperparah lagi oleh struktur barang yang selama ini diekspor Indonesia yang berupa barang baku dengan added value yang sangat rendah. Menurut Faisal Basri sebagaimana yang dikutip oleh kompas 21/12/09, komoditas Ekspor Indonesia ke China didominasi oleh komoditas primer (bahan baku), sedangkan komoditas impor Indonesia dari China didominasi oleh produk manufaktur yang sangat beragam. Hal inilah yang oleh banyak kalangan dikhawatirkan akan memperparah proses deindustrialisasi di Indonesia pasca implementasi AC-FTA.

Dari sinilah, peran penting entrepreneurship menjadi sangat urgent bagi prospek perekonomian Indonesia ke depan. Indonesia yang kaya akan sumber daya alam (SDA) memerlukan jiwa entrepreneurship yang mampu memberikan added value yang tinggi terhadap SDA yang ada. Dengan demikian produk-produk yang dihasilkan pun mampu bersaing dengan produk luar. Menurut Ciputra (2009), jiwa entrepreneurship yang tinggi mampu merubah “kotoran” dan “rongsokan” menjadi sebuah “emas”. Sebaliknya dengan jiwa entrepreneurship yang rendah, sebuah emas bisa menjadi barang rongsokan yang tidak berharga sama sekali. Hal inilah yang terjadi di negeri tercinta Indonesia ini dan negara-negara miskin yang kaya sumber daya alam lainnya. Di mana sumber daya alam yang mereka miliki tidak menjadikan mereka negara yang makmur dan sejahtera. Sebaliknya mereka menjadi budak di negara mereka sendiri.

Menurut Joseph A. Schumpeter, sumber kemakmuran sebuah negara terletak dalam jiwa entrepreneurship para pelaku ekonomi yang mengarsiteki pembangunan (Deliarnov: 2005). Hal ini senada dengan pendapat pakar entrepreneur dari Amerika Serikat David McClelland, yang mengatakan suatu negara akan mencapai tingkat kemakmuran dan kesejahteraan apabila jumlah entrepreneur-nya paling sedikit 2% dari total jumlah penduduknya (Astamoen: 2005). Namun sayangnya standar tersebut sangat jauh dengan jumlah entrepreneur di Indonesia yang diperkirakan hanya sekitar 0,18% atau sekitar 400 ribu dari 220 juta penduduk Indonesia (Ciputra: 2009).

Berbicara tentang entrepreneurship, Islam sebenarnya sudah lama mengajarkan tentang hal tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang mengemukakan tentang pentingnya berdagang yang merupakan salah satu bentuk entrepreneurship. Bahkan Rasulullah SAW sendiri adalah seorang entrepreneur sejati yang telah menggeluti dunia entrepreneurship semenjak kecil. Di mana Rasulullah telah melakukan ekspansi perdagangang milik Khodijah bersama dengan pamannya sampai ke Syiria ketika beliau berusia 12 tahun (Antonio: 2007).

Di antara surat yang menjelaskan tentang nilai entrepreneurship serta strategi bisnis adalah surat Al-Qurasiy. Kalau kita renungkan secara mendalam, surat Al-Qurasy merupakan surat yang banyak mengandung strategi dan manajemen yang sangat dibutuhkan oleh seorang entrepreneur. Namun sayangnya meski hampir setiap hari surat ini dibaca terutama dalam shalat, sangat sedikit sekali umat Islam yang memahami mutiara yang terkandung di dalamnya, apalagi mengaplikasikan isinya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itulah, tulisan ini berusaha menggali beberapa mutiara yang terkandung di dalam surat Al-Qurasy terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai dan strategi entrepreneurship. Dengan memahami nilai entrepreneurship yang terkandung dalam surah Quraisy, diharapkan semangat entrepreneurship umat semakin meningkat. Selain itu, tulisan ini diharapkan menjadi ikhtiar awal bagi penulisan tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dalam bidang ekonomi. Mengingat meskipun ekonomi Islam berkembang pesat saat ini, sangat sedikit sekali atau bahkan masih belum ada buku tafsir yang khusus membahas aspek ekonomi secara komprehenship.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang dirumuskan dalam tulisan ini, yaitu:

a. Pelajaran apa yang dapat kita gali dari surah Quraisy dalam hal entrepreneurship serta strategi bisnis?

b. Bagaimana contoh yang diajarkan oleh Rasulullah yang sesuai dengan entrepreneurship serta strategi bisnis yang terkandung dalam surah Quraisy tersebut?

c. Bagaimana cara mengaktualisasikan ajaran-ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam konteks perekonomian Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan beberapa rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah:

a. Untuk mengetahui pelajaran yang dapat kita gali dari surah Quraisy dalam hal entrepreneurship serta strategi bisnis?

b. Untuk mengetahui contoh yang diajarkan oleh Rasulullah yang sesuai dengan entrepreneurship serta strategi bisnis yang terkandung dalam surah Quraisy tersebut?

c. Untuk mengetahui cara mengaktualisasikan ajaran-ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam konteks perekonomian Indonesia?

1.4. Manfaat Penulisan

Tulisan ini sangat bermanfaat bagi beberapa kalangan. Manfaat tersebut di antaranya adalah:

a. Bagi Penulis

Tulisan ini memberikan manfaat bagi penulis berupa pemahaman yang lebih mendalam lagi mengenai mutiara hikmah yang terkandung dalam surah Quraisy, terutama yang berkaitan dengan entrepreneurship dan business strategy. Selain itu, tulisan ini juga bermanfaat bagi penulis sebagai ikhtiar awal untuk mengkaji dan menulis lagi tafsir ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan ekonomi.

b. Bagi Akademisi

Tulisan ini sangat berguna bagi para akademisi terutama yang bergelut dalam ekonomi Islam. Tulisan ini bisa menjadi salah satu pemicu bagi mereka untuk melakukan kajian yang serupa dalam hal tafsir ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan ekonomi. Dengan demikian, teori-teori ekonomi Islam yang ada dapat di-extract langsung dari sumber aslinya bukan dari teori-teori konvensional yang selama ini ada.

c. Bagi Umat Islam Secara Luas

Bagi umat Islam secara luas, tulisan ini diharapkan mampu meningkatkan pemahaman mereka mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, umat Islam diharapkan tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai ritual rutin yang hanya dibaca setiap hari tanpa ada perenungan mengenai makna-makna yang terkandung di dalamnya. Namun jauh dari itu, umat Islam harus memahami dengan sangat baik tentang nilai dan ajaran yang terkandung di dalam Al-Qur’an untuk selanjutnya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sekilas tentang Entrepreneurship

Menurut Astamoen (2005), kata entrepreneurship berasal dari bahasa Perancis “entrepreneuriat” yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi “to undertake”. Istilah ini kemudian menjadi istilah dunia yang sangat femiliar. Sedangkan Entrepreneurship sendiri menurut Peggy A. Lambing dan Charles R. Kuehl dalam Hendro dan Chandra (2006), diartikan sebagai suatu usaha yang kreatif yang membangun suatu value dari yang belum ada menjadi ada dan bisa dinikmati oleh banyak orang.

Istilah entrepreneurship sendiri dalam bahasa Indonesia sering diartikan sebagai wiraswasta atau wirausaha. Di mana wiraswasta terdiri dari tiga kata. Pertama, “wira” yang berarti manusia tunggal, pahlawan, pendekar, teladan berbudi luhur, berjiwa besar, gagah berani, serta memiliki keagungan watak. Kedua, “Swa” yang berarti sendiri atau mandiri. Ketiga, “Sta” yang berarti tegak berdiri. Sedangkan Wirausaha sendiri terdiri dari kata “wira” yang memiliki seperti di atas serta “usaha” yang berarti awal, bekerja, serta berbuat sesuatu (Astamoen: 2005).

Dari beberapa definisi entrepreneurship di atas, dapat kita lihat beberapa ciri utama dari orang yang dianggap memiliki jiwa entrepreneur. Ciri-ciri tersebut adalah (Astamoen: 2005):

a. Mempunyai Visi. Seorang entrepreneur sejati selalu memiliki visi atau pandangan jauh ke depan yang merupakan sasaran utama yang akan dituju dalam perjuangannya meraih kesuksesan. Visi tersebut dapat bermula dari sebuah mimpi atau gagasan sederhana yang harus direalisasikan dalam kenyataan melalui usaha dan perjuangan keras.

b. Kreatif, inovatif dan mampu melihat peluang. Tanpa ada gagasan yang kreatif dan inovatif, usaha yang dilakukan oleh seorang entrepreneur akan ketinggalan karena konsumen selalu berubah dan selalu menuntut hal yang baru. Oleh karena itu, seorang entrepreneur harus jeli melihat sebuah peluang baru dan selalu memiliki jiwa kompetitif, sehingga usaha yang dijalankannya akan terus berkembang dengan adanya segmen pasar baru yang digarap.

c. Orientasi pada kepuasan konsumen. Konsumen adalah seorang raja yang harus dilayani dengan baik agar menjadi loyal terhadap produk yang ditawarkan oleh seorang entrepreneur. Ketika mereka tidak puas, maka mereka akan lari ke pesaing yang lain. Orientasi pada kepuasan konsumen pada akhirnya juga berarti orientasi pada laba dan pertumbuahn.

d. Berani mengambil risiko. Risiko adalah hal yang akan selalu mengelilingi kita selagi kita masih hidup. Oleh karena itulah, menghindari risiko bukanlah sikap yang tepat. Sebaliknya risiko harus kita hadapi dan kita kelola dengan baik, karena di balik risiko yang besar akan ada sebuah peluang dan keuntungan yang besar pula. Dalam istilah ilmu manajemen hal ini dikenal dengan istilah “High Risk High Return

e. Berjiwa sosial dengan berjiwa dermawan dan berjiwa altruis. Hal inilah yang seharusnya dipegang teguh oleh para entrepreneur. Sehingga mereka tidak menjadi seorang yang matrealis yang selalu berorientasi pada laba saja. Dengan jiwa sosial yang tinggi, maka karyawan serta masyarakat yang ada di sekitarnya akan menjadi loyal kepadanya. Loyalitas dan dukungan yang besar dari karyawan dan masyarakat tersebut pada akhirnya sangat penting bagi perkembangan sebuah usaha.

Dewasa ini, entrepreneurship memiliki peranan yang sangat penting bagi perekonomian sebuah negara. Bahkan dalam model-model ekonomi modern, entrepreneurship dimasukkan sebagai salah satu variabel faktor produksi setingkat tanah, modal, dan teknologi. Bahkan menurut pakar entrepreneur dari Amerika Serikat David McClelland, suatu negara akan mencapai tingkat kemakmuran dan kesejahteraan apabila jumlah entrepreneur-nya paling sedikit 2% dari total jumlah penduduknya (Astamoen: 2005). Pendapat David McClelland tersebut sama dengan pendapat Joseph A. Schumpeter yang menganggap bahwa sumber kemakmuran terletak dalam jiwa entrepreneurship para pelaku ekonomi yang mengarsiteki pembangunan (Deliarnov: 2005).

2.2. Konsep dan Metodologi Tafsir

Menurut Ayyub (2004), Tafsir secara epistimologi berarti Al-Idlah dan Al-Tabyin (menjelaskan dan menerangkan). Sedangkan secara terminologi berarti ilmu yang mempelajari tentang penjelasan makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur’an serta menggali hukum, hikmah, mau’idzah serta pelajaran yang terpendam di dalamnya (Yunus: 2002). Menurut sebagian besar ulama’ tafsir, Tafsir dan Ta’wil merupakan dua kata yang sinonim.

Secara garis besar, ada tiga bentuk Tafsir, yaitu (Ayyub: 2004):

a. Tafsir bi Al-Riwayah atau bi Al-Ma’tsur

Yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sendiri, hadits atau perkataan para sahabat. Di antara tafsir-tafsir yang tergolong jenis ini adalah kitab tafir Al-Thabary, Al-Samarqandy, Al-Durr Al-Mantsur, Ibnu Katsir, Al-Baghawi dan masih banyak lainnya

b. Tafsir bi Al-Dirayah atau bi Al-Ra’yi

Yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan pemikiran (ra’yu). Namun yang dimaksud ra’yu di sini adalah Ijtihad yang memang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar ijtihad yang sudah ditentukan. Berbeda dengan penafsiran yang hanya mengandalkan logika yang tidak didasari oleh prinsip dasar Ijtihad yang benar, maka dianggap tercela dan bisa menyesatkan.

Menurut Al-Suyuthi (1988), secara garis besar ada empat hal yang harus menjadi pegangan bagi orang yang ingin menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:

1. Menuqil dari Rasulullah dengan tetap menghindari hadits yang dla’if dan maudlu’

2. Mengambil pendapat para shahabat. Hal ini dikarenakan menurut para mufassir pendapat shahabat secara mutlak seperti hadits marfu’

3. Memahami tata bahasa Arab serta mampu meneliti susunannya dengan sangat baik

4. Mengetahui beberapa kaedaah dasar syariah (Al-Ushul Al-Syar’iyyah)

Dengan demikian tidak semua orang bisa melakukan penafsiran bi Al-Ra’yi sebagaimana yang selama ini terjadi. Di mana banyak orang yang tidak memiliki prinsip-prinsip dasar ijtihad sangat berani menafsirkan Al-qur’an dengan sesuka hati. Akibatnya penafsiran yang dikemukakan pun cenderung salah bahkan menyesakan.

Adapun beberapa kitab Tafsir yang tergolong jenis ini adalah Al-Jalalain, Al-Baidlawy, Al-Alusy, Al-Ghazin dan masih banyak yang lainnya

c. Tafsir bi Al-Isyarah atau Tafsir Al-Isyari

Yaitu penafsiran yang dilakukan oleh orang-orang Tashawwuf yang berusaha menggali kandungan hikmah dari Al-Qur’an. Ulama’ berbeda pendapat mengenai jenis tafsir ini. Sebagian ada yang memperbolehkan dan sebagian ada yang menganggapnya sesat. Di antara kitab Tafsir jenis ini adalah Tafsir Al-Nisabury dan Tafsir Ruhul Ma’any karya Al-Alusy.

Di antara bentuk Tafsir bi Al-Ra’yi adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan modern seperti ilmu astronomi, kedokteran, ekonomi, dan manajemen. Penafsiran seperti ini menuai banyak kontroversi di kalangan para ulama’ ahli tafsir. Ada yang memperbolehkan dan ada yang melarang. Di antara ulama’ yang melarang penafsiran seperti ini adalah Syaikh Syaltut dan Sayyid Qutb.

Adapun ulama’ yang memperbolehkan penggunaan ilmu pengetahuan dalam menafsirkan Al-qur’an sebagaimana dikemukakan oleh Al-Qordlawi (2002) adalah Imam Al-Ghazali dan Al-Suyuthi. Menurut Al-Ghazali, secara global semua ilmu pengetahuan termasuk dalam perbuatan dan sifat Allah. Sedangkan Al-Qur’an menerangkan zat, perbuatan dan sifat Allah. Adapun ilmu pengetahuan ini tidak bersifat final. Dalam Al-qur’an, hanya terdapat sinyal secara global terhadap ilmu tersebut.

Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi orang yang ingin menafsirkan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan, yaitu (Al-Qordlawi: 2002):

1. Berpegang pada fakta ilmiah bukan hipotesis

Hal ini sangat penting mengingat ketika menafsirkan Al-Qur’an dengan hipotesis, maka penafsiran yang dibuat akan berubah-ubah mengikuti hipotesis yang ada.

2. Menjauhi pemaksaan diri dalam memahami nash

Dalam hal ini kita dilarang memaksakan sebuah nash Al-Qur’an dengan makna yang ingin kita simpulkan. Akan tetapi kita hendaknya harus mengambil beberapa makna yang sesuai dengan bahasa dan sesuai dengan alur redaksi nash yang ada

3. Menghindari menuduh umat seluruhnya bodoh

Ketika kita menafsirkan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan, maka jangan pernah menganggap umat islam atau bahkan ulama’ terdahulu adalah bodoh karena tidak mampu menafsirkan seperti yang kita tafsirkan.


BAB III

METODOLOGI PENULISAN

Metodologi yang digunakan dalam penulisan ini adalah metodologi kualitatif deskriptif dengan pendekatan content analysis. Menurut Berelson (1952), content analysis secara sistematis dapat didefinisikan sebagai sebuah teknik replikasi yang digunakan untuk memperjelas beberapa kata dari sebuah teks menjadi beberapa kategori muatan yang lebih sedikit, berdasarkan kode aturan yang tersirat. Sedangkan menurut Holsti (1969), content analysis diartikan sebagai sebuah teknik untuk menginterpretasi dan mengidentifikasi sebuah karakteristik pesan secara spesifik, objektif dan sistematis (Stemler: 2001).

Dalam melakukan pendekatan content analysis tersebut, metode tafsir yang penulis gunakan adalah kombinasi antara Tafsir bi Al-Ra’yi dengan Tafsir bi Al-Ma’tsur. Hal ini mengacu kepada pendapat Al-Suyuthy dan Al-Qardlawy yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penafsiran dengan ilmu pengetahuan modern harus tetap mengacu kepada nash serta Tafsir bi Al-Ma’tsur. Oleh karena itulah, dalam penelitian ini penulis melakukan explore terhadap beberapa literatur tafsir terkemuka, baik kitab tafsir klasik maupun kontemporer. Adapun kitab-kitab tafsir Klasik yang penulis jadikan rujukan adalah Tafsir Ibnu Katsir karya Isma’il bin ‘Umar bin Katsir, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an karya Al-Qurthuby, serta Al-Kasysyaf karya Al-Zamahsyari. Sedangkan kitab Tafsir Kontemporer yang penulis jadikan rujukan adalah Tafsif Al-Munir karya Dr. Wahbah Al-Zuhaily, Al-Tafsir Al-Washith karya Sayyid Thanthawy, serta Tafsir Al-Maraghy karya Ahmad Mushthafa Al-Maraghy

Selain itu, penulis juga meng-explore beberapa teori manajemen modern dari beberapa buku-buku manajemen terutama yang berkaitan dengan teori entrepreneurship. Hal ini penulis lakukan agar bisa mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam surah Quraisy dengan teori manajemen dan entrepreneurship modern yang berkembang selama ini.


BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Overview dari Surah Quraisy

لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (1) إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (2) فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (3) الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ (4)

1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. 2. yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. 3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Kakbah). 4. Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. (QS. Quraisy: 1-4)

Surah Quraisy merupakan surah Makiyyah yang memiliki 4 ayat. Secara garis besar, Surah Quraisy menerangkan tentang kebiasaan orang Quraisy yang melakukan perjalanan niaga ke negara-negara di luar Makkah seperti Yaman dan Syiria.

Menurut Al-Zuhailly (1998), suku Quraisy adalah kabilah-kabilah yang masih dalam garis keturunan Nadlar bin Kinanah yang merupakan salah satu kakek nabi Muhammad. Suku Quraisy dianugerahi oleh Allah beberapa kemuliaan. Di mana mereka secara turun temurun menjadi pengelola Ka’bah dan penguasa Makkah. Oleh karena itulah mereka selalau aman dalam melakukan perjalanan niaga ke luar Makkah.

Meski Surah Quraisy berbicara tentang kebiasaan perjalanan niaga suku Quraisy, namun kalau kita cermati, Surah Quraiys mengandung banyak hikmah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita sehari-hari terutama di bidang ekonomi (Amiruddin: 2004). Surah Quraisy mengajarkan kita berbagai macam strategi dalam melakukan perdagangan terutama perdagangan luar negeri.

4.2. Tafsir Ekonomi Surah Quraisy

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Surah Quraisy memiliki berbagai hikmah ekonomi terutama dalam hal entrpreneurship serta strategi-strategi dalam melakukan ekspansi perdagangan ke luar negeri. Dengan memahami secara baik hikmah tersebut, diharapkan jiwa entrepreneurship umat akan terbangun terutama dalam menghadapi AC-FTA yang sudah dihadapan mata.

Berikut akan dibahas beberapa tafsir ekonomi dari Surah Quraiys terutama yang berkenaan dengan nilai-nilia serta strategi entrepreneurship. Pembahasan dilakukan dengan menafsirkan surah Quraisy per ayat. Agar penafsiran setiap ayat berbobot, akan dibahas juga beberapa pengertian setiap lafadz. Pembahasan selanjutnya disertai dengan tauladan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah.

4.2.1. Tafsir Ayat لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ

Ada dua kata kunci penting yang terdapat dalam ayat pertama surah Quraisy ini, yaitu:

Pertama, ايلاف yang merupakan bentuk mashdar dari اّلف. Menurut Al-Zuhaily (1998) dalam kitabnya Tafsir Al-Munir, اّلف berarti لزمه وعكف عليه yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan menetapi serta menekuni sesuatu. Sedangkan menurut Sayyid Thanthawy dalam kitabnya Al-Tafsir Al-Washith, اّلف berarti لزمه وتعود عليه yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan menetapi serta membiasakan sesuatu.

Dari penafsiran di atas, kita memperoleh gambaran tentang kegigihan serta ketekunan suku Quraisy dalam menjalankan sebuah bisnis. Kedua hal itulah yang ternyata menjadi kunci dari kesuksesan bisnis yang mereka jalani. Keberhasilan bisnis mereka ternyata tidak didapatkan dengan cara yang instant, melainkan memerlukan sebuah proses panjang yang penuh tantangan.

Selain itu, Penafsiran Thanthawi terhadap اّلف dengan تعود عليه yang berarti membiasakan sesuatu, menjelaskan kepada kita bahwa jiwa entrepreneurship tidak muncul begitu saja. Akan tetapi jiwa entrepreneurship adalah sebuah proses pembelajaran serta pembiasaan.

Dalam dunia pendidikan, pembelajaran yang paling efektif adalah ketika dilakukan semenjak usia dini. Hal ini didukung oleh penelitian Collin dan Moores dalam Antonio (2007) yang menyimpulkan bahwa “The act of entrepreneurship is an act patterned after modes of coping with early childhood experience”. Orang bijak juga pernah berkata “many greatmen started as newspapes boys”. Oleh karena itulah dalam rangka mencetak SDM handal yang mampu memperkuat ekonomi Indonesia, keterampilan entrepreneurship perlu diajarkan kepada para siswa semenjak usia dini. Dengan demikian sekolah tidak hanya mengajarkan hard skill yang berupa teori baku, namun sekolah juga harus mengajarkan siswa soft skill terutama dalam hal entrepreneurship yang terkadang lebih dibutuhkan dalam menghadapi dunia nyata setelah lulus sekolah nanti.

Rasulullah yang merupakan uswah hasanah bagi kita sebenarnya sudah mengajarkan hal tersebut di atas. Keahlian manajerial beliau dalam mengelola segala lini kehidupan termasuk dalam bisnis ternyata beliau dapatkan semenjak kecil. Menurut Antonio (2007), keahlian manajerial dan kepemimpinan Rasulullah salah satunya diperoleh dari mengembala kambing ketika beliau masih kecil. Di mana para pengembala harus mampu mengarahkan ternaknya ke padang gembalaan serta mengendalikannya agar tidak tersesat. Mereka juga harus melindungi ternak mereka dari gangguan seperti hewan pemangsa dan pencuri.

Adapun keahlian Rasulullah dalam bidang bisnis beliau peroleh semenjak beliau ikut pamannya berdagang ke Syiria pada usia 12 tahun. Setelah magang pada pamannya tersebut, beliau kemudian memulai bisnis sendiri pada usia 17 tahun. Bisnis tersebut terus beliau jalankan sampai menjelang menerima wahyu (sekitar di usia 37 tahun). Dengan demikian, beliau menggeluti dunia bisnis selama ± 25 tahun. Masa tersebut jauh lebih lama sedikit dibandingkan masa kerasulan beliau yang berlangsung selama ± 23 tahun (Antonio: 2007).

Kedua, lafadz قُرَيْشٍ. Menurut Al-Qurthuby (2003) dalam kitabnya Al-Jami’ Litafsir Al-Qur’an, lafadz قُرَيْشٍ memiliki beberapa pengertian yaitu, pertama, التقرش yang berarti التجمع (bersatu atau berhimpun) dan التكسُّب (berusaha atau bekerja). Kedua,القَرْش yang berarti التفتيش (meneliti). Ketiga, القِرش yaitu nama hewan laut yang sangat kuat bahkan dapat memecahkan perahu. Beberapa pengertian tersebut secara global menggambarkan tentang integritas, ketekunan, kegigihah, serta keagungan dari suku Quraisy.

Bagi suku Quraisy, nama قُرَيْشٍ tidak lain adalah sebuah Brand Equity. Brand tersebut diperkuat lagi oleh kedudukan yang mereka miliki di kalangan orang Arab. Di mana suku Quraisy adalah penguasa sekaligus pengelola Ka’bah (Baitullah) yang merupakan pusat peribadatan suku-suku lainnya di Jazirah Arab. Menurut Al-Zuhaily (1998), orang Arab menjuluki suku Quraisy dengan istilah ”Ahlu Bait Allah”. Labeling yang diterima suku Quraisy dari orang Arab tersebut dalam dunia Marketing dikenal dengan istilah Master Brand. Di mana menurut Carl McDaniel (2001), Master Brand diartikan sebagai brand yang demikian dominan dipikiran masyarakat sehingga dengan cepat mereka akan berfikir tentang brand tersebut ketika si pemilik brand disebutkan. Master Brand yang berupa “Ahlu Bait Allah” inilah yang kemudian menjadikan mereka suku yang sangat disegani di Jazirah Arab, sehingga mereka selalu aman dalam perjalanan ke luar negeri dalam rangka ekspansi niaga.

Sebagaimana suku Quraisy, Brand bagi seorang entrepreneur merupakan sebuah hal yang sangat penting. Bahkan menurut Hermawan Kertajaya (2004) pakar marketing Indonesia, Brand is Everything. Menurut Kertajaya (2004), Brand tidak lain adalah indikator value yang ditawarkan kepada seorang pelanggan. Brand juga menjadi aset yang mampu menciptakan value bagi pelanggan dengan memperkuat kepuasan dan loyalitas mereka. Brand merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan sebuah bisnis. Levi’s, Coca Cola, dan Mercedes Benz merupakan beberapa contoh Brand yang berhasil menjadikan produk mereka menguasai hampir seluruh pasar di dunia.

Konsep Branding sendiri sebenarnya sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sebelum diangkat menjadi seorang Rasul, beliau dikenal dengan sebutan “Al-Amin” yang kemudian menjadi semacam Master Brand bagi beliau. Master Brand yang berupa Al-Amin inilah yang menjadikan pengusaha besar bernama Khadijah mempercayainya untuk menjalankan harta dagangannya. Brand Al-Amin tersebut juga menjadi capital yang sangat menunjang keberhasilan bisnis yang beliau jalankan.

4.2.2. Tafsir Ayat إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ

Dalam ayat ke dua ini, ada dua lafadz yang menarik untuk kita renungkan, yaitu:

Pertama, رحلة yang berarti ارتحال (bepergian). Di mana suku Quraisy yang tinggal di negara padang pasir sangat mengandalkan niaga sebagai mata pencaharian utamanya. Perniagaan yang mereka lakukan pun tidak hanya dalam lingkup domestik namun juga lintas negara seperti ke Syiria dan Yaman (Al-Maraghy: 1998).

Pelajaran berharga dari lafadz رحلة di sini adalah keberanian untuk melakukan ekspansi bisnis ke luar negeri. Dengan demikian pasar dari produk yang kita hasilkan tidak terbatas hanya domestik namun sudah harus mendunia. Oleh karena itulah, dengan jiwa entrepreneurship yang tinggi, AC-FTA tidak lagi menjadi sebuah hambatan namun menjadi peluang untuk melakukan ekspansi dalam rangka memperluas pasar.

Selain itu, berkaitan dengan رحلة ada satu penafsiran lain mengenai ايلاف yang dikemukakan oleh Al-Harawy dalam Al-Qurthuby (2003). Di mana ايلاف berarti hubungan diplomatik dalam rangka jaminan keamanan bagi suku Quraisy dalam perjalanan niaganya. Munurut Al-Harawy, ada 4 hubungan diplomatik yang digagas empat bersaudara dari suku Quraisy. Pertama, hubungan diplomatik dengan raja Syam (Syiria) yang digagas oleh Hasyim. Kedua, hubungan diplomatik dengan raja Habasyah (Etiopia) yang digagas oleh Abdu Syamsy. Ketiga, hubungan diplomatik dengan raja Yaman yang digagas oleh Muthallib. Keempat, hubungan diplomatik dengan raja Persia yang digagas oleh Naufal.

Banyak pelajaran berharga yang dapat diambil oleh seorang entrepreneur dari penafsiran di atas. Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, seorang entrepreneur harus mampu membangun sebuah jaringan (network) seluas-luasnya. Dari sinilah keahlian dalam hal deplomasi, negoisasi serta membangun hubungan baik dengan orang lain adalah hal yang wajib dimiliki seorang entrepreneur. Dr. Walter Doyle Staples sebagaimana yang dikutip oleh Astamoen (2005) mengatakan “successful human relations is really the art of making other people feel good about themselves

Keahlian dalam berekspansi serta membangun jaringan (network) yang sangat luas sebenarnya sudah dicontohkan oleh the great entrepreneur dari suku Quraisy Muhammad SAW. Menurut Antonio (2007), wilayah dagang yang beliau bangun selama 28 tahun menjadi entrepreneur meliputi Yaman, Syiria, Busra, Iraq, Yordania, Bahrain serta kota-kota perdagangan lainnya di santero Jazirah Arab. Bahkan ketika menemui Al-Ashajj ketua delegasi Bahrain, beliau bertanya kepada Al-Ashajj tentang berbagai hal termasuk tentang tokoh serta kota-kota perdagangan di Bahrain seperti Safa, Mushaqqar dan Hijar. Al-Ashajj sangat terkejut melihat wawasan beliau yang sangat luas tentang sentra-sentra bisnis yang ada di daerahnya. Al-Ashajj berkata “sungguh anda lebih tahu tentang negeri saya dari pada saya sendiri. Anda juga lebih banyak mengenal kota-kota di negeri saya dari pada yang saya ketahui”.

Kedua, الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (musim dingin dan musim panas). Menurut Ibnu Katsir (1999), pada musim dingin suku Quraisy melakukan perjalanan niaga ke Yaman sedangkan pada musim panas ke Syiria. Menurut Al-Zuhaily (1998) dan Al-Maragy (1998), tujuan orang Qurasy melakukan perjalanan niaga ke Yaman pada musim dingin karena Yaman adalah daerah yang panas. Sedangkan perjalanan ke Syiria pada musim panas, karena Syiria adalah daerah yang dingin. Di mana di Yaman mereka mendapatkan minyak wangi serta rempah-rempah yang datang dari India serta Teluk Persia. Sedangkan di Syiria mereka mendapatkan beberapa komoditas pertanian yang sangat dibutuhkan di negara mereka yang tandus.

Beberapa penafsiran di atas memberikan gambaran bagi kita tentang keahlian suku Quraisy dalam melakukan segmentasi pasar (market segmentation). Di mana mereka mengidentifikasi wilayah yang menjadi tujuan pasar mereka berdasarkan iklim (الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ atau musim dingin dan panas). Dalam dunia marketing hal ini dikenal dengan istilah “Segmentasi Geografis”.

Dalam era globalisasi seperti saat ini, segmentasi terus berkembang dan lebih menyeluruh sehingga tidak berdasarkan Geografis saja. Hal ini dikarenakan karakteristik seseorang yang tinggal dalam satu letak geografis yang sama bisa jadi sangat berbeda, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itulah, segmentasi yang digunakan oleh seorang entrepreneur haruslah semakin canggih. Dalam hal ini, segmentasi yang dilakukan oleh seorang entrepreneur juga harus memperhatikan demografis atau variabel psikografis dan behavior yang sekarang dianggap lebih efektif (Kertajaya: 2006). Melalui segmentasi pasar yang canggih dan efektif tersebut, seorang entrepreneur mampu mengalokasikan sumber daya dengan sangat tepat, sehingga pada akhirnya nanti orientasi pada kepuasan konsumen akan mudah tercapai.

4.2.3. Tafsir Ayat فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ

Menurut Al-Zamahsyary (1983) dalam kitabnya Al-Kasysyaf, ayat ketiga ini memiliki kaitan erat dengan ayat لإيلاف قُرَيْشٍ. Dalam ayat ini, Allah memerintahkan suku Quraisy untuk menyembah-Nya sebagai rasa syukur atas segala nikmatnya, terlebih nikmat yang berupa keberhasilannya dalam berniaga. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa orang Quraisy mendapatkan keamanan selama perjalanan niaganya dikarenakan mereka menjadi penjaga serta penguasa Baitullah (Ka’bah). Oleh karena itu, selayaknya lah mereka bersyukur terhadap Allah yang merupakan tuhan dari Ka’bah dengan cara menyembah kepada-Nya bukan kepada berhala atau makhluk lainnya.

Dalam ayat ini, Allah mengajarkan kepada kita akan adanya keseimbangan (Balance) antara menjalankan bisnis dan ibadah. Bagi seorang entrepreneur Muslim, bisnis yang dijalankan tidak diperkenankan menyebabkan dirinya lalai akan ibadah. Sebaliknya bisnis yang dijalankan seharusnya menjadi pendukung bagi kelancaran ibadah atau bahkan mampu memberikan kontribusi besar bagi dakwah. Hal inilah yang dicontohkan oleh Khodijah seorang saudagar kaya di Makkah. Hasil dari bisnis yang dia jalankan hampir seluruhnya digunakan untuk mendukung dakwah yang dijalankan oleh suami tercintanya Muhammad SAW.

Selain itu, penyebutan nama البيت dalam ayat ini menggambarkan tentang Positioning yang selama ini dilakukan suku Quraisy selaku penguasa dan penjaga Baitullah. Dengan Positioning sebagai “Ahlu Bait Allah”, suku Quraisy menjadi suku yang terhormat dan sangat disegani di kalangan orang Arab sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Dalam pandangan penulis, positioning yang dilakukan oleh suku Quraisy tersebut tidak lain berdasarkan anugerah yang diberikan oleh Allah yang berupa Baitullah. Suku Quraisy yang tinggal di wilayah tandus serta tidak memiliki sumber daya alam yang berlimpah, memposisikan diri mereka sebagai pedagang serta penyedia jasa. Di mana mereka menyediakan jasa bagi suku-suku Arab lainnya yang datang ke Baitullah yang merupakan pusat peribadatan jazirah Arab, seperti jasa siqayah (penyediaan air minum bagi peziarah Ka’bah) dan lain sebagainya.

Menurut Kertajaya (2004), positioning adalah sebuah simpul dan titik awal perumusan strategi. Positioning juga menjadi acuan bagi penyusunan diferensiasi. Dalam konteks negara, positioning akan menjadi acuan dalam perumusan strategi pembangunan ekonomi serta industrialisasi yang dijalankan. Salah satu contoh negara yang berhasil dalam hal positioning adalah Thailand. Di mana dia memposisikan dirinya sebagai “kitchen of the world”. Positioning tersebut sangat sesuai dengan sumber daya alam yang melimpah yang dimiliki oleh Thailand. Dengan adanya positioning seperti itu, produk pertanian Thailand bisa menguasai pasar hasil pertanian hampir di seluruh dunia.

Indonesia seharusnya bisa mengambil pelajaran dari success story Thailand di atas. Positioning yang dilakukan oleh Indonesia seharusnya sesuai dengan sumber daya alam yang melimpah yang dimilikinya. Dengan demikian perencanaan pembangunan ekonomi serta industrialisasi yang dilakukan pun harus selalu mengacu kepada sumber daya alam yang ada (Resources Based Economy). Tidak seperti yang terjadi saat ini, di mana industrialisasi yang ada tidak memiliki linkage dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia.

4.2.4. Tafsir Ayat الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ

Menurut Al-Zuhaily (1998), Ayat ke empat ini memiliki kaitan dengan surat sebelumnya yaitu surah Al-Fiil. Dalam ayat ini Allah menjelaskan dua nikmat besar yang telah dianugerahkan kepada suku Quraisy. Pertama, nikmat yang berupa keberhasilan mereka dalam berniaga, sehingga meski mereka tinggal di negara yang tandus namun kebutuhan makan mereka tercukupi. Nikmat pertama ini adalah inti sari dari lafadz الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ. Kedua, terhindarnya Makkah dari gempuran tentara gajah yang dikirim oleh raja Abrahah sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Al-Fiil. Dengan diselamatkannya Makkah dari gempuran tersebut, penduduk Makkah bisa hidup dengan damai dan tanpa rasa takut. Nikmat kedua ini adalah inti sari dari lafadz وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ.

Konsep utama yang dapat kita gali dari ayat ke-empat ini adalah Tawakkal. Di mana pada ayat-ayat sebelumnya Allah berbicara tentang beberapa usaha atau ikhiar yang telah dilakukan oleh suku Quraisy dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka yang tinggal di daerah tandus. Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa meski secara kasat mata terpenuhinya kebutuhan tersebut berkat usaha mereka sendiri, akan tetapi pada hakikatnya Allah lah yang memberi mereka makan.

Dalam konteks tawakkal ini, manusia hanya diberi wewenang oleh Allah untuk berikhtiar semampu mereka. Namun pada akhirnya, Allah-lah yang menentukan rizki mereka. Oleh karena itu, dalam rangka melakukan ikhtiar dalam sebuah bisnis misalnya, manusia tidak diperkenankan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah. Urusan bisnisnya juga jangan sampai menyebabkan dia lalai terhadap ibadah pada Allah. Rasulullah bersabda, “Seorang manusia tidak akan mati kecuali telah mendapatkan rizki yang ditentukan untuknya, meski dengan cara yang lambat. Oleh karena itu, takutlah kalian kepada Allah serta perbaikilah cara mencari rizki. Jangan sampai lamanya proses mendapatkan rizki mendorong kalian untuk menggapainya dengan cara ma’shiat kepada Allah” (HR. Ahmad).

Di antara implikasi dari konsep tawakkal dalam bisnis yang dapat kita gali dari ayat ini adalah keberanian untuk mengambil risiko (risk taking). Konsep risk taking yang merupakan ciri utama dari seorang entrepreneur ini terkandung dengan jelas dalam lafadz وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ. Dalam ayat ini, Allah dengan tegas menjelaskan bahwa hanya Dia lah yang memberikan rasa aman. Risiko sebesar apa pun tidak akan mampu membahayakan manusia kecuali atas kehendaknya. Rasulullah bersabda “Ketahuilah sesungguhnya bila manusia berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan mampu memberikan manfaat sedikit pun kecuali apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Begitu pula ketika mereka berkumpul untuk membahayakan kamu, maka mereka tidak akan mampu membahayakan kalian kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk kamu” (HR. Bukhari)

Oleh karena itulah, seorang entrepreneur harus berani menghadapi risiko serta mampu mengelolanya berdasarkan kadar kemampuan serta pengetahuan yang dia miliki. Dalam ilmu manajemen hal semacam ini sering disebut dengan calculated risk taking (Ciputra: 2009). Selebihnya, dia harus menyerahkan risiko yang berada di luar jangkauan kemampuan serta pengetahuan mereka kepada Super Manager yang telah mengatur semuanya yaitu Allah SWT. Hal ini sesuai dengan pendapaat Al-Baihaqy (2003) yang mengatakan bahwa, Tawakkal adalah usaha seseorang mencapai sesuatu sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, sedangkan dalam hatinya dia menyerahkan hasilnya kepada Allah.

Menurut penulis, ada hal menarik yang perlu kita cermati dari susunan ayah yang terdapat dalam surah Quraisy di atas. Di mana dua ayat pertama, Allah menjelaskan tentang usaha suku Quraisy dalam mencapai kesuksesan di bidang bisnis. Sedangkan dua ayat terakhir Allah menegaskan tentang konsep Hakikat yang merupakan landasan dari Tawakkal. Hal tersebut menegaskan bahwa Tawakkal harus dilakukan setelah manusia berusaha sekuat tenaga untuk mencapai hasil yang mereka tuju. Tawakkal yang tidak diiringi oleh usaha keras tidak lain adalah sikap konyol yang tidak sesuai dengan perintah berusaha yang telah diperintahkan oleh Allah dan telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam kehidupan sehari-harinya. Oleh karena itulah, konsep Tawakkal tidak pernah bertolak belakang dengan konsep etos kerja yang banyak diajarkan dalam ilmu manajemen modern.

Secara sederhana hikmah-hikmah yang terkandung dalam Surah Quraisy yang sudah dibahas sebelumnya, dapat penulis sederhanakan dalam tabel di bawah ini. Di mana tabel di bawah adalah hasil pemikiran penulis sendiri yang disarikan dari hasil kombinasi kitab tafsir dengan teori ekonomi manajemen yang ada dalam beberapa buku literatur manajemen modern.

Tabel 2: Hikmah dalam Surah Quraisy beserta Teladan Rasulullah dan Quraisy

Ayat ke-

Lafadz

Hikmah yang Terkandung

Teladan Rasulullah dan Quraisy

Ayat Pertama

ايلاف

Ketekunan, Pembelajaran serta pembiasaan dari kecil

Rasulullah sudah memulai bisnis sejak usia 12 tahun dan berlangsung selama ± 25 tahun

قريش

Brand Equity dan Master Brand

Rasulullah sejak kecil sudah memiliki Brand “Al-Amin

Ayat Ke-Dua

رحلة

Ekspansi ke luar, membangun network, serta keahlian diplomasi dan negoisasi

Jaringan bisnis Rasulullah meliputi Yaman, Syiria, Busra, Iraq, Yordania, Bahrain dan sentra dagan lain di Jazirah Arab

الشتاء والصيف

Market Segmentation

Suku Quraisy melakukan “segmentasi geografis”

Ayat Ke-Tiga

فَلْيَعْبُدُوا

Balance antara Bisnis dan Ibadah. Bahkan bisnis digunakan untuk dakwah

Hasil bisnis Khadijah istri Rasulullah untuk dakwah

البيت

Positioning

Positioning Quraisy sebagai “Ahlu Bait Allah

Ayat Ke-Empat

Secara umum tentang tawakkal yang disertai usaha keras

Sikap Tawakkal Rasulullah sudah tidak diragukan lagi. Beliau juga tidak pernah takut menghadapi risiko apapun karena beliau yakin bahwa Allah selalu bersamanya.

وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ

Calculated Risk Taking


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari beberapa pembahasan di atas ada beberapa kesimpulan yang ingin penulis kemukakan dalam bab V ini, yaitu:

  1. Perekonomina Indonesia membutuhkan peran para entrepreneur yang mampu mengelola SDA menjadi produk dengan added value yang tinggi.
  2. Guna mencetak para entrepreneur di atas, umat Islam perlu mempelajari nilai-nilai entrepreneurship yang telah diajarkan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits. Umat Islam juga perlu mencontoh tindak tanduk the great entrepreneur Muhammad SAW dalam menjalankan bisnisnya.
  3. Di antara ayat Al-Qur’an yang banyak mengajarkan tentang entrepreneurship serta strategi yang dibutuhkan dalam bisnis adalah Surah Quraisy. Di antaranya teori manajemen yang ada dalam surah Quraisy adalah Brand Equity, Master Brand, Market Segmentation, Positioning, Calculated Risk Taking, Networking, Ekspansi Pasar, dan lain sebagainya.

5.2. Saran

Dari beberapa pembahasan di atas, ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan yaitu:

  1. Dunia pendidikan seharusnya mulai mengajarkan soft skill terutama dalam hal entrepreneurship kepada para siswa sejak dini. Mengingat soft skill terkadang sangat dibutuhkan oleh siswa kelak setelah lulus dari sekolah.
  2. Perlu ada kajian lanjutan tentang nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam Al-qur’an dan Al-Hadits. Sehingga teori ekonomi yang ada dapat di-extract langsung dari sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Baihaqy, Ahmad bin Al-Husain, 2003, Sya’bu Al-Iman, Riyadl: Maktabah Al-Rusyd li Al-Nasyr wa Al-Tauzi’

Al-Maraghy, Ahmad Mushthafa, 1998, Tafsir Al-Maraghy, Mesir: Syirkat Maktabah wa Mathba’ah Al-Halaby

Al-Shuyuthy, Jalaluddin, 1988, Al-Itqhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Bairut: Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah

Al-Qurthuby,Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad, 2003, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Riyadl: Daar ‘Alam Al-Kutub

Al-Zamahsyari, Abul Qasim Mahmud, 1983, Al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq Al-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta’wil, Bairut: Daar Al-Fikr

Al-Zuhaily, Wahbah, 1998, Tafsif Al-Munir fi Al-‘aqidah wa Al-Syari’ah wa Al-Manhaj, Bairut: Daar Al-Fikr

Antonio, Muhammad Syafi’I, 2007, Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager, Jakarta: ProLM Centre

Amiruddin, Aam, 2004, Tafsir Al-Quran Kontemporer, Bandung: Percik Press

Astamoen, Moko P., 2005, Entrepreneur dalam Perspektif Kondisi Bangsa Indonesia, Bandung: Alfabeta

Ayyub, Hasan, 2004, Al-Hadits fi ‘Ulum Al-Qur’an wa Al-Hadits, Kairo: Daar Al-Salam

Basri, Faisal, 2009, FTA ASEAN-China dan Deindustrialisasi, www.kompas.com diposting pada Senin, 21 Desember 2009.

Ciputra, 2009, Ciputra Quantum Leap: Entrepreneurship Mengubah Masa Depan Bangsa dan Masa Depan Anda. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Deliarnov, 2005, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Neraca Perdagangan dengan Negara Mitra Dagang, Diakses pada Senin 15 Februari 2010

Gunara, Thorik dan Sudibyo, Hardiono, 2006, Marketing Muhammad: Strategi Bisnis Nabi Muhammad dalam Memenangkan Persaingan Pasar, Bandung: Takbir Publishing House

Hendro dan Chandra, 2006, Be a Smart and Good Entrepreneur, Bekasi: CLA Publishing.

Ibnu Katsir, Isma’il bin Umar, 1999, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, Daar Thaybah li Al-Nasyr wa Al-Tauzi’

Kertajaya, Hermawan, 2004, Seri 9 elemen marketing, Bandung: PT Mizan Pustaka

Lamb, C.W, Hair, J.F., dan McDaniel, C., 2001, Pemasaran, Jakarta: Salemba Empat.

Stemler, Steve (2001). An overview of content analysis. Practical Assessment, Research & Evaluation, 7(17). Retrieved February 16, 2010 from http://PAREonline.net/getvn.asp?v=7&n=17

Thanthawy, Muhammad Sayyid, , Al-Tafsir Al-Washith, Mauqi’ Al-Tafasir

Qordlawi, Yusuf, 2002, Fatwa-Fatwa Kontemporer: Jilid 3, Jakarta: Gema Insani Press

Yunus, Muhammad Kabir, 2002, Dirasat fi Ushul Al-Tafsir, Tharabulis: Kuliyyah Al-Da’wah Al-Islamiyyah